Jumat, 09 Januari 2015

WH (Wilayatul Hisbah) Salah Jalan

Aceh, negeri ujung barat Indonesia yang terkenal dengan penerapan syariat islamnya. Seringkali suara “terapkan syariat – terapkan syariat” didengungkan, “kita harus kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah” disuarakan, dan ungkapan-ungkapan lainnya seakan-akan penerapan tersebut akan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Penerapan syariat di Aceh sudah di mulai sejak beberapa tahun yang lalu, namun tidak berjalan lancar seperti yang di inginkan sebelumnya. Mereka para “penyuara syariat” dan “pemyelenggara syariat” seperti salah paham mengenai syariat seperti apa yang harus di terapkan di bumi serambi mekkah ini.

           Belakangan ini para "penyelenggara syariat" terlalu di sibukkan dengan hal-hal tidak penting utk merealisasikan syariat islam di Aceh. Di tambah lagi "polisi syariat" yang bertindak bodoh dengan terlalu sibuk mengatur “fashion” masyarakat Aceh, yang menurut penulis salah jalan dalam penerapannya, aturan dalam qanun no 22 thn 2002, pasal 13 ayat 1 mengatakan bahwa “setiap orang wajib berbusana islami”, sementara dalam penjelasannya di katakan bahwa busana islami adalah pakaian yang menutup aurat, yang tidak tembus pandang dan tidak memperlihatkan bentuk tubuh. Dalam penerapan qanun no 22 thn 2002 pasal 13 ayat 1 tersebut para penyelenggara dan polisi syariat memulainya dengan merazia masyarakat yang menggunakan pakaian ketat, celana ponggol dan sebagainya yang melanggar qanun tersebut. Menurut penulis jalan yang dipilih untuk mulai menerapkan qanun tersebut adalah keliru, ketika keluar adanya larangan menggunakan buju ketat atau celana ketat, celana ponggol atau pakaian yang tembus pandang seharus nya para penyelenggara syariat dan polisi syariat memulai razia di toko-toko pakaian. Mengapa demikian? Karena pakaian yang digunakan oleh masyarakat berasal dari toko pakaian. Ketika toko-toko pakaian telah dirazia dan dibersihkan dari pakaian-pakaian yang dilarang dalam qanun serta menjual pakaian- pakaian sesuai dengan tujuan syariat, maka barulah polisi syariat melakukan razia kepada masyarakat. Sehingga setelah diberi arahan dan teguran, masyarakat bisa membeli pakaian sesuai yang di atur oleh qanun. Akan tetapi jika toko- toko pakaian tidak di razia, melainkan hanya masyarakatnya saja, setelah di beri arahan dan teguran pun masyarakat tetap akan menggunakan pakaian yang dilarang, karena pakaian- pakaian yang di jual di toko- toko adalah yang bertentangan dengan qanun, sehingga masyarakat sulit sekali untuk menemukan pakaian-pakaian sesuai dengan yang di aur dalam qanun no 22 thn 2002. Dalam hal ini Pemerintah harusnya memberes kan suatu hal dari akarnya, karena ketika ada hukum yang mengatur, maka manusia akan mencari jalan untuk menerobosnya, itu adalah sifat alami manusia. Namun ketika pemerintah menutup jalan tersebut, maka hukum akan berjalan sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar