Aceh, negeri ujung barat Indonesia yang terkenal dengan penerapan
syariat islamnya. Seringkali suara “terapkan syariat – terapkan syariat”
didengungkan, “kita harus kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah”
disuarakan, dan ungkapan-ungkapan lainnya seakan-akan penerapan tersebut
akan mudah seperti membalikkan telapak tangan. Penerapan syariat
di Aceh sudah di mulai sejak beberapa tahun yang lalu, namun tidak
berjalan lancar seperti yang di inginkan sebelumnya. Mereka para
“penyuara syariat” dan “pemyelenggara syariat” seperti salah paham
mengenai syariat seperti apa yang harus di terapkan di bumi serambi
mekkah ini.
Belakangan ini para "penyelenggara syariat" terlalu di sibukkan dengan
hal-hal tidak penting utk merealisasikan syariat islam di Aceh. Di
tambah lagi "polisi syariat" yang bertindak bodoh
dengan terlalu sibuk mengatur “fashion” masyarakat Aceh, yang menurut
penulis salah jalan dalam penerapannya, aturan dalam qanun no 22 thn
2002, pasal 13 ayat 1 mengatakan bahwa “setiap orang wajib berbusana
islami”, sementara dalam penjelasannya di katakan bahwa busana islami
adalah pakaian yang menutup aurat, yang tidak tembus pandang dan tidak
memperlihatkan bentuk tubuh. Dalam penerapan qanun no 22 thn 2002 pasal
13 ayat 1 tersebut para penyelenggara dan polisi syariat memulainya
dengan merazia masyarakat yang menggunakan pakaian ketat, celana ponggol
dan sebagainya yang melanggar qanun tersebut. Menurut penulis jalan
yang dipilih untuk mulai menerapkan qanun tersebut adalah keliru, ketika keluar adanya larangan
menggunakan buju ketat atau celana ketat, celana ponggol atau pakaian
yang tembus pandang seharus nya para penyelenggara syariat dan polisi
syariat memulai razia di toko-toko pakaian. Mengapa demikian? Karena
pakaian yang digunakan oleh masyarakat berasal dari toko pakaian. Ketika
toko-toko pakaian telah dirazia dan dibersihkan dari pakaian-pakaian
yang dilarang dalam qanun serta menjual pakaian- pakaian sesuai dengan
tujuan syariat, maka barulah polisi syariat melakukan razia kepada
masyarakat. Sehingga setelah diberi arahan dan teguran, masyarakat bisa
membeli pakaian sesuai yang di atur oleh qanun. Akan tetapi jika toko-
toko pakaian tidak di razia, melainkan hanya masyarakatnya saja, setelah
di beri arahan dan teguran pun masyarakat tetap akan menggunakan
pakaian yang dilarang, karena pakaian- pakaian yang di jual di toko-
toko adalah yang bertentangan dengan qanun, sehingga masyarakat sulit
sekali untuk menemukan pakaian-pakaian sesuai dengan yang di aur dalam
qanun no 22 thn 2002. Dalam hal ini Pemerintah harusnya memberes kan
suatu hal dari akarnya, karena ketika ada hukum yang mengatur, maka
manusia akan mencari jalan untuk menerobosnya, itu adalah sifat alami
manusia. Namun ketika pemerintah menutup jalan tersebut, maka hukum akan
berjalan sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar